Festival Perayaan Seminar: Sudah Hilangkah Pemaknaan?

12 Agustus 2024 – Selama sebulan terakhir, kita telah disuguhi banyak sekali perayaan mahasiswa yang telah melaksanakan seminar proposal skripsi (sempro), seminar laporan kerja praktek, hingga sidang skripsi. Banyak mahasiswa yang setelah melaksanakan kegiatan tersebut merayakan dengan memesan selempang, bunga, lengkap dengan poster yang bertuliskan nama mereka.

Perayaan ini mungkin menjadi budaya yang sudah biasa dilakukan mahasiswa zaman sekarang. Memang, setelah belajar 3 sampai 4 tahun di bangku kuliah dan menguasai keilmuan yang dipelajari, ada kecenderungan untuk merayakannya secara berlebihan.

Namun, dalam esensi sesungguhnya, menjadi seorang akademisi bukan hanya tentang penguasaan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan itu digunakan, dikembangkan, dan disebarluaskan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat secara keseluruhan.

Hilda Rahma, Dosen Komunikasi Sosiologi, memberikan pandangannya mengenai fenomena ini. “Sebenarnya tidak ada salahnya merayakan momen berharga yang terjadi dalam hidup, contohnya moment setelah sidang skripsi atau proposal atau moment wisuda yang itu tidak setiap hari terjadi. Ekspresi ini tentu boleh saja muncul di beranda medsos, dengan harapan kebahagiaan itu bisa menular ke banyak orang,” ujarnya.

Namun, Bu Hilda juga mengingatkan bahwa perayaan ini bisa jadi hanya sebatas FOMO (Fear of Missing Out). “Namun, perayaan ini tidak wajib jadi sebaiknya tidak membebankan mahasiswa. Ekspresi ini salah satu bentuk FOMO jadi harus diwaspadai juga. Ini bukan fenomena yang normal ketika perayaan ini menjadikan tubuh kita sebagai komoditas atau yang Guy Debord bilang sebagai society of the spectacle,” tambahnya.

Bu Hilda melanjutkan dengan penjelasan lebih lanjut, “Mereka menciptakan keeksistensian karena dibentuk perilaku yang sudah di setting oleh media. Masyarakat tontonan gemar mengadopsi hal-hal yang membuat dirinya terlihat unik untuk mendapatkan perhatian dari banyak orang, terutama di sosmed. Jadi akhirnya justeru membebankan diri sendiri karena merasa punya tanggungan untuk posting.
selanjutnya, “Padahal momen-momen perayaan itu harusnya bisa membebaskan kita dari beban (kan perayaan bisa menandai sebuah keberhasilan dll), tapi kalo tubuh kita justeru menjadi komoditas, atau justeru perayaan itu tidak membuat kita paham langkah apa yang seharusnya akan diambil setelahnya, yaaa itu namanya bukan perayaan tapi hanya sekedar fomo.” Ucap Hilda Rahma

Mungkin ada cara baru yang perlu dicoba oleh mahasiswa sekarang, yakni melengkapi perayaan pasca-seminar sempro, seminar kerja praktek, dan sidang skripsi mereka dengan memaknai arti sesungguhnya apa yang telah mereka pelajari dan alami dalam dunia akademis selama ini. Apakah hanya sekedar penguasaan materi, atau ada lebih banyak lagi yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga?

Mahasiswa diharapkan lebih bijak dalam merayakan pencapaian akademis mereka. Lebih dari sekedar pesta dan selebrasi, refleksi atas perjalanan mereka dalam dunia akademis bisa menjadi bagian penting dari perayaan itu sendiri.

Memahami bahwa setiap tahapan akademis bukan hanya batu loncatan untuk mencapai gelar atau pengakuan, tetapi lebih pada kontribusi nyata bagi masyarakat dari keilmuan yang sudah dipelajari selama ini merupakan sebuah esensi dari gelar sarjana.

Spread the love