Perayaan Kemerdekaan untuk Siapa?

Bendera merah putih berkibar angkuh di setiap sudut kota. Lantunan lagu kebangsaan mengudara, membelah langit tanah air. Hari ini, 17 Agustus 2024, Indonesia merayakan 79 tahun kemerdekaannya. Namun, dibalik gegap gempita perayaan, sebuah pertanyaan mengusik: Untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini?

Di jalanan kota, seorang ibu termenung. Matanya menerawang jauh, melewati kerumunan orang yang bersorak-sorai. Baginya, hari ini hanyalah hari biasa – hari di mana ia harus berjuang mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya. Meski angka kemiskinan menurun menjadi 9,03 persen, fakta bahwa masih ada 25,22 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan membuat makna kemerdekaan terasa hambar.

Sementara itu, di sebuah kampung nelayan, seorang pemuda menatap nanar ijazah SMA-nya. Mimpinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi kandas oleh biaya yang tak terjangkau. Ia menjadi bagian dari 90% penduduk Indonesia yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Baginya, kemerdekaan pendidikan masih terasa begitu jauh.

Di sisi lain kota, para pekerja informal – yang jumlahnya mencapai 84,13 juta orang atau 59,17% dari total pekerja – bergelut dengan ketidakpastian. Mereka adalah wajah-wajah yang tersembunyi di balik laporan pertumbuhan ekonomi. Bagi mereka, kemerdekaan finansial masih menjadi impian yang sulit digapai.

Kesedihan kemerdekaan semakin terasa ketika kita melihat 12,11 juta orang yang masih berstatus setengah pengangguran. Mereka adalah potret nyata bahwa pekerjaan layak masih menjadi barang langka di negeri ini.Namun, ironi kemerdekaan semakin menusuk ketika kita menyaksikan negara yang seharusnya hadir di tengah kesusahan rakyatnya, justru mempertontonkan hura-hura dan foya-foya. Anggaran pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang fantastis menjadi bukti nyata betapa pemerintah seolah kehilangan arah prioritasnya.

Proyek megah yang muncul bak sulap, tanpa melalui diskusi mendalam dengan rakyat, kini menyedot dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan dan penyediaan lapangan kerja. Bayangkan dampak yang bisa dihasilkan jika anggaran Rp 137,1 miliar untuk pengembangan kawasan strategis IKN di tahun 2025 dialihkan untuk membangun sekolah-sekolah baru di daerah terpencil atau menciptakan program pelatihan kerja bagi jutaan pengangguran.

Belum lagi anggaran Rp 368,4 miliar untuk program dukungan manajemen IKN. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk memberikan beasiswa bagi ribuan mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu, atau bahkan untuk membangun pusat-pusat inkubasi usaha kecil menengah di berbagai daerah.

Kita patut bertanya, mengapa negara lebih memilih membangun istana baru ketika masih banyak rakyatnya yang belum memiliki rumah layak huni? Mengapa kita sibuk memindahkan ibu kota ketika masih ada daerah-daerah yang belum teraliri listrik? Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap semangat kemerdekaan yang sejati?

kita patut bertanya, untuk siapa sesungguhnya perayaan ini? Apakah untuk segelintir elit yang menikmati kemewahan, ataukah untuk jutaan rakyat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasarnya?

Spread the love