Bisikan Nurani di Tengah Badai Demokrasi

Dalam denyut nadi sebuah negeri, terdengar bisikan lirih. Suara hati yang teredam oleh hiruk pikuk kekuasaan. Kami, para saksi bisu, berdiri di tepian sejarah dengan mata yang nyalang dan hati yang meringis.

Bukankah manusia dianugerahi nurani? Bukankah otak kita dipercayakan untuk berpikir, menganalisis, dan memutuskan? Namun apa jadinya ketika nurani dipaksa bungkam dan logika dipaksa bertekuk lutut?

Hari itu, kami dipaksa menjadi penonton dalam sebuah drama yang menyayat hati. Sebuah pertunjukan kecurangan yang begitu terang-terangan, seolah-olah menampar wajah keadilan dengan tangan telanjang. Kami menyaksikan bagaimana demokrasi, yang seharusnya menjadi pilar negara, perlahan runtuh di bawah beban ambisi.

Pimpinan negara, sosok yang seharusnya menjadi panutan, justru menjadi dalang dalam sandiwara ini. Bukannya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, ia malah menggunakan kekuasaannya bagai tongkat ajaib untuk membuka pintu-pintu kesempatan bagi anak dan keluarganya. Nepotisme bukan lagi bisikan di balik tirai, tapi teriakan lantang yang menggema di setiap sudut istana.

Media, dengan pena tajam mereka, tak tinggal diam. Mereka memberi nama yang begitu pas: “Raja Jawa”. Sebuah gelar yang menggelitik, namun juga menohok. Bagaimana mungkin di era demokrasi modern, kita masih berbicara tentang raja? Bukankah kita sudah lama meninggalkan sistem monarki?

Waktu terus bergulir, tak peduli pada kegalauan hati kami. Sebulan lebih seminggu, terasa bagai seabad. Namun akhirnya, momen itu tiba. Sang “Raja Jawa” turun dari tahtanya, meninggalkan singgasana yang telah ia duduki. Apakah ini akhir dari kisah? Atau justru awal dari sebuah babak baru?

Ketika kita merenung, kita diingatkan bahwa demokrasi bukanlah hadiah yang diberikan begitu saja. Ia adalah tanggung jawab yang harus kita pikul bersama. Setiap warga negara, dari yang paling berkuasa hingga yang paling sederhana, memiliki peran dalam menjaga api demokrasi tetap menyala.

Mungkin inilah saatnya kita kembali pada esensi. Mendengarkan kembali bisikan nurani yang selama ini teredam. Mengasah tajam logika yang sempat tumpul oleh propagand. Sebab pada akhirnya, negara ini bukan milik satu orang atau satu keluarga. Ia adalah milik kita semua.

Mari kita belajar dari masa lalu, berdiri tegak di masa kini, dan melangkah dengan penuh harap menuju masa depan. Sebab dalam dada setiap warga negara, tersimpan potensi untuk menjadi pemimpin sejati. Pemimpin yang mendengar suara nurani, menggunakan akal sehatnya, dan bertindak demi kebaikan bersama.

Inilah saatnya kita bangkit, membangun kembali demokrasi yang telah retak, dan menciptakan negeri yang benar-benar menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan bagi semua.

Spread the love