Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP K) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa dari keluarga kurang mampu agar dapat mengakses pendidikan tinggi secara gratis. Namun, di salah satu kampus swasta yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, program ini justru menjadi sorotan karena disalahgunakan oleh seorang penerima. Mahasiswa semester 3 dengan nama samaran Indah dituduh menjalani gaya hidup yang tidak mencerminkan seorang penerima bantuan pendidikan.
Menurut keterangan Indra (nama samaran), salah satu pengurus Organisasi Mahasiswa KIP K di kampus tersebut, Indah diketahui kerap nongkrong di kafe-kafe mewah yang tentu saja mematok harga cukup tinggi. “Nggak sepatutnya anak KIP K terlalu sering nongkrong di kafe,” ujar Indra. Ia juga menambahkan bahwa perilaku Indah menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa lainnya, termasuk mahasiswa reguler yang tidak mendapatkan bantuan pendidikan. Gaya hidupnya dianggap tidak sesuai dengan statusnya sebagai penerima program bantuan.
Tidak hanya kebiasaan nongkrong di tempat mahal, Indah juga pernah kedapatan menggunakan iPhone 13, sebuah perangkat yang mencerminkan gaya hidup mewah. Ketika ditanya mengenai hal tersebut, Indah mengelak dan menyatakan bahwa ponsel tersebut adalah milik saudaranya. Namun, Indra, kawan pelaku sekaligus pengurus Organisasi Mahasiswa KIP K, tidak langsung percaya. “Aku tidak percaya jika itu milik saudaranya. Keputusannya, orang KIP K akan mengawasi kamu selama satu semester ini,” ujarnya tegas.
Ia menambahkan, “Untuk sekarang pelaku dalam posisi sedang diawasi, jadi kalo misalnya ketahuan sekali lagi yaudah nanti suratnya turun.” Sebagai tindak lanjut, organisasi mahasiswa memutuskan untuk memantau perilaku Indah dengan lebih ketat. Jika kembali ditemukan pelanggaran, tidak menutup kemungkinan bantuan KIP K yang diterimanya akan dicabut.
Kejadian ini menjadi ironi yang sangat memprihatinkan. KIP K seharusnya menjadi solusi bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan tanpa beban biaya, bukan menjadi jalan untuk menikmati gaya hidup hedonis. Kasus seperti ini mencerminkan perlunya evaluasi yang lebih ketat, baik dalam seleksi maupun pengawasan penerima bantuan. Bagaimana mungkin seseorang yang menyadari bahwa program ini ditujukan untuk mereka yang membutuhkan malah dengan sadar menerima bantuan tersebut dan menggunakannya untuk tujuan yang tidak semestinya?
Jika penerima bantuan memiliki hati nurani, mereka seharusnya menolak bantuan sejak awal jika merasa tidak membutuhkan. KIP K bukanlah alat untuk membiayai gaya hidup berlebihan, melainkan sebuah jaring penyelamat pendidikan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Kejadian ini menyadarkan kita semua akan pentingnya menjaga integritas program-program bantuan dari pemerintah. Indah hanyalah salah satu contoh kasus yang mungkin terjadi di berbagai tempat lainnya. KIP K adalah bentuk perhatian negara kepada mahasiswa kurang mampu, bukan tiket untuk memoles gaya hidup dengan pamer barang mewah di media sosial atau bersenang-senang di tempat mahal.
Kesimpulannya, mari kita kembalikan esensi program KIP K kepada tujuan utamanya, yakni membantu mereka yang membutuhkan agar dapat menikmati hak yang sama dalam pendidikan tinggi. Tidak ada tempat bagi penyalahgunaan bantuan ini untuk kepentingan pribadi yang melenceng. Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk memastikan bahwa bantuan seperti KIP K benar-benar tepat sasaran dan membawa manfaat yang sesuai dengan tujuannya.
*Nama pelaku, Indah, dan nama temannya, Indra, yang disebutkan dalam artikel ini adalah nama samaran. Penggunaan nama samaran dilakukan untuk menjaga kerahasiaan identitas asli pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini.