Semarang, petang itu mendung bergelayut rendah. Kamis 28 November 2024 di depan pagar kokoh Polda Jawa Tengah, deretan polisi berseragam berdiri tegak, membentuk barikade yang memisahkan mereka dari kerumunan massa. Di antara hiruk pikuk orasi dan gemuruh tepuk tangan massa, ada sebuah momen yang membuat semua mata terpaku—aksi teatrikal yang digelar di tengah kerumunan, tepat di depan pagar yang seolah menjadi simbol batas antara rakyat dan aparat.
Aksi teatrikal itu menjadi salah satu bagian paling emosional dari rangkaian Aksi Kamisan yang digelar hari itu. Massa yang hadir datang dari berbagai latar belakang: mahasiswa, pelajar, alumni SMKN 4 (sekolah korban), masyarakat sipil, hingga lembaga, organisasi, dan komunitas sosial. Mereka semua bersatu dalam satu tujuan—menuntut keadilan untuk Gamma, siswa SMKN 4 yang tewas mengenaskan akibat tembakan seorang oknum polisi.
Di antara barisan polisi yang berbaris kaku dan massa yang mengelilingi mobil komando, para awak media pun berkerumun di celah-celah keramaian, merekam setiap momen. Ketika teatrikal itu dimulai, suasana yang sebelumnya riuh mendadak berubah. Mata yang sebelumnya mengamati dengan santai kini menajam, menyaksikan dengan penuh perhatian.
Seorang pemuda bernama Akmal, pemeran utama dalam lakon ini, maju ke tengah lingkaran. Ia memerankan Gamma—korban yang hidupnya terenggut di dini hari yang mencekam. Dengan raut wajah yang penuh rasa sakit, Akmal terjatuh perlahan ke atas aspal. Tubuhnya menggigil seolah merasakan dingin yang menusuk tulang, darah buatan terlihat mengalir dari tubuhnya, menciptakan visual yang menggetarkan hati.
“Teatrikal ini sebagai bentuk protes,” ucap Akmal usai aksi itu. “Kami ingin para demonstran, juga polisi yang menjaga, memiliki pandangan yang sama tentang tragedi ini. Kami ingin mereka semua melihat ulang peristiwa itu—bukan hanya sebagai insiden, tapi sebagai kejahatan kemanusiaan yang menyakitkan.”
Aksi teatrikal ini bukan sekadar ilustrasi ulang kejadian. Ia hadir sebagai pengingat, sebagai panggilan hati nurani. Akmal tidak hanya merepresentasikan Gamma, tetapi juga menggambarkan luka mendalam yang dirasakan banyak orang di tempat itu. Dengan dramatisasi yang nyata—raut muka kesakitan, tubuh yang terkapar, dan darah yang membasahi—teatrikal ini menggiring massa aksi dan polisi untuk menghadapi kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan.
Di sela aksi itu, massa mulai bersorak, meneriakkan makian terhadap Polisi berulang-ulang. Di sisi lain, polisi tetap diam, barisan mereka kokoh tanpa celah. Namun, sorot mata beberapa di antara mereka tampak lebih lembut, lebih dalam. Mungkin teatrikal itu menggugah, mungkin tidak. Tetapi, siapa pun yang ada di sana tahu bahwa peristiwa hari itu telah menciptakan jejak—jejak yang sulit dilupakan.
Aksi Kamisan itu bukan sekadar unjuk rasa. Ia adalah sebuah panggung besar, di mana masyarakat sipil mencoba bicara, mencoba menunjukkan bahwa nyawa seorang pelajar tak bisa diukur dengan sekadar kata maaf atau janji penyelidikan. Dan teatrikal ini, dengan kesederhanaannya, telah menyuarakan lebih dari seribu poster atau orasi lantang. Ia menyampaikan rasa sakit, amarah, dan harapan dalam satu tarikan napas panjang yang dihirup semua orang yang menyaksikannya.