Kerentanan Mental Generasi Z di Dunia Kerja: Tantangan dan Solusi (Part I)

Generasi Z, yang mencakup individu lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini mulai memasuki dunia kerja dengan membawa serangkaian tantangan unik. Sebagai generasi digital native pertama, mereka menghadapi kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam mengelola kehidupan profesional dan kesehatan mental mereka. Saat ini, anggota tertua dari Generasi Z berusia sekitar 27 tahun, sementara yang termuda baru berusia 12 tahun, dengan sebagian besar berada pada masa transisi dari pendidikan ke dunia kerja. Dunia kerja kontemporer, yang ditandai oleh perubahan cepat, ketidakpastian ekonomi, dan tuntutan produktivitas yang tinggi, menciptakan lingkungan yang dapat sangat menekan kesehatan mental Generasi Z. Kombinasi antara harapan karir yang tinggi, realitas pasar kerja yang kompetitif, dan tantangan sosial-ekonomi global menciptakan tekanan besar pada kesejahteraan psikologis mereka.
Kurang lebih begitu yang dirasakan oleh mahasiswa semester akhir dalam mempersiapkan diri di dunia kerja setelah lulus dari perguruan tinggi. Akhdan misalnya, sudah membuat planning garis besar yang sangat rapi dengan percaya diri di masa depan nanti. “Rencananya setelah lulus akan mulai dari kerja apapun kemudian punya pekerjaan tetap, punya rumah, kendaraan, nikah dan yang jelas sebelum nikah tujuan tadi sudah tercapai.” ujar Akhdan dengan antusias.
Arifin mempunyai sudut pandang yang berbeda, alih-alih menargetkan gaji. Namun, ia yang sudah terjun di dunia kerja paham bahwa Gen Z harus membekali diri dengan skill yang mumpuni. “Kalau tidak sesuai ekspektasi, kalau gajinya tidak sesuai ya diniatkan belajar meningkatkan skill jadi perusahaan bisa melihat potensi kita, jadi bisa menaikkan gaji.”
Keduanya adalah Gen Z dengan jarak umur yang tidak jauh. Namun, cara pandang mereka tentang dunia kerja cukup atraktif dalam menyikapi persoalan mental healt yang lebih rentan di era digital saat ini. Arifin juga menekankan kepada para mahasiswa untuk sejak dini mungkin bisa membuat persiapan yang matang sampai menjadi profesional dan bisa mendukung kesehatan mental mereka di dunia kerja nanti.
Data menunjukkan bahwa Generasi Z menghadapi tingkat masalah kesehatan mental yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Survei McKinsey Health Institute mengungkapkan bahwa 18% Generasi Z menganggap kesehatan mental mereka buruk, dibandingkan dengan 13% Milenial dan 11% Generasi X dan Baby Boomers. Lebih lanjut, penelitian Resolution Foundation menemukan bahwa 1 dari 3 orang berusia 18-24 tahun melaporkan gejala masalah kesehatan mental umum, meningkat dari 1 dari 4 orang pada tahun 2000. Angka-angka ini menggambarkan betapa seriusnya masalah kesehatan mental yang dihadapi oleh Generasi Z, terutama saat mereka memasuki dunia kerja.

Data dari penelitian Walton Family Foundation mengungkapkan sebuah realitas yang mengkhawatirkan tentang kesehatan mental Generasi Z. Temuan bahwa 42% Gen Z berjuang melawan depresi dan perasaan putus asa – hampir dua kali lipat dibandingkan dengan orang Amerika berusia di atas 25 tahun (23%) – menggambarkan krisis kesehatan mental yang signifikan di kalangan generasi muda ini.

Angka ini menegaskan bahwa hampir setengah dari populasi Gen Z mengalami tekanan psikologis yang serius. Hal ini menunjukkan adanya tantangan unik yang dihadapi oleh generasi ini, yang mungkin berakar dari berbagai faktor seperti tekanan akademik dan karir, ketidakpastian ekonomi, dampak media sosial, serta perubahan sosial dan lingkungan yang cepat.

Akhdan dan Arifin mengaku tidak mengambil pusing dengan masalah-masalah yang dihadapi ketika magang maupun kerja, mereka menjaga baik kesehatan mental dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Bagi Akhdan stigma masalah mental healt Gen Z kembali kepada masing-masing individu dengan tujuannya. Karena tujuan yang tidak jelas atau tidak fokus ketika terjadi masalah bisa membuat semangat bekerja menurun dan mengganggu kesehatan mental. Pribadinya yang sering menyendiri dan tidak suka berkoar-koar itu membagikan sedikit pengalamannya beradaptasi saat magang menjadi salah satu staf pemadam kebakaran, yang spontanitas langsung gampang berbaur.

Hal itu disepakati oleh Arifin, “Karena tuntutan di dunia kerja yang tinggi dan cepat. Ketika terjadi masalah, komunikasi dengan tim atau atasan sangat diperlukan. Maka dari itu perlu membangun komunikasi yang baik agar problem tidak meluas tapi menemukan titik solusi.” Kesalahpahaman sering menjadi faktor awal permasalahan di lingkungan kerja yang dapat menganggu kesehatan mental. Komunikasi juga merupakan cara memahami dan menghargai budaya kerja.

Bekerja memang tidak akan pernah lepas dari beban dan tanggung jawab. Bekerja merupakan salah satu proses yang cukup komplek dan melelahkan untuk bisa dilewati dengan ikhlas. Namun, Gen Z sering menganggap proses itu selalu berat sampai memikirkannya berlarut-larut. Arifin juga merasa bahwa Gen Z kurang bisa menikmati proses yang ada, padahal secara tidak langsung proses itu akan membentuk kedewasaan dalam berpikir, serta bisa membuat Gen Z lebih enjoy menjalani suatu aktivitas daripada melulu harus memikirkan sebuah hasil.

Kesenjangan yang besar antara tingkat depresi Gen Z dan generasi yang lebih tua mengindikasikan bahwa faktor-faktor kontemporer memainkan peran penting dalam mempengaruhi kesehatan mental mereka. Ini bisa termasuk tantangan spesifik era digital, ekspektasi sosial yang berubah, dan mungkin juga cara berbeda dalam mengatasi stres dan kecemasan.

Data ini menyoroti kebutuhan mendesak akan perhatian dan intervensi yang lebih besar terhadap kesehatan mental Gen Z. Ini mencakup peningkatan akses ke layanan kesehatan mental, pengembangan program dukungan yang ditargetkan untuk usia muda, dan upaya untuk mengurangi stigma seputar masalah kesehatan mental. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami penyebab spesifik di balik tingginya tingkat depresi ini dan mengembangkan strategi pencegahan yang efektif.

Temuan ini juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif dan tindakan dari berbagai pihak – termasuk pembuat kebijakan, pendidik, orang tua, dan masyarakat luas – untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi kesehatan mental Gen Z. Dengan memahami dan mengatasi masalah ini secara serius, kita dapat membantu generasi muda ini mengatasi tantangan kesehatan mental mereka dan membangun fondasi yang lebih kuat untuk masa depan mereka.

Lingkungan keluarga sangat berpengaruh dan berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang. “Yang bisa menguatkan Gen Z justru adalah keluarga, bagaimana cara pola pengasuhannya. Karena parenting yang bagus dapat menguatkan mental untuk menghadapi kehidupan ke depan,” jelas Lia Dewi, dosen psikologi USM. Beliau juga berpendapat, kurangnya perhatian dalam keluarga dapat memicu anak menjadi mudah cemas dan lebih sensitif terhadap suatu hal.

Kasus bunuh diri yang dipicu dari depresi berat marak terjadi dikalangan Gen Z juga disebabkan karena kondisi mental yang rapuh. Mental yang rapuh bisa dipengaruhi dari orang tua yang sibuk bekerja dan menitipkan anak-anak mereka kepada pengasuh sejak kecil. Sehingga emosional anak yang kurang dan kebiasaan di mana, apapun yang mereka butuhkan akan dengan mudahnya terpenuhi, tapi dalam kembang tumbuhnya sendiri orang tua kurang berperan aktif.

Dalam lingkup pendidikan tidak akan jauh dari istilah circle pertemanan, banyak pengaruh negatif maupun positif dari teman yang akan berdampak pada kehidupan seseorang. Akhdan sendiri tidak pernah memilih-milih teman, ia berpikir pada suatu saat nanti akan berpisah dan tidak bisa selalu bersama-sama. “Jadi saya tahu tidak bisa bergantung dan mengikuti arus teman.”

Tak jarang teman lebih banyak mengetahui banyak hal dari teman lainnya, memang beberapa dari Gen Z merasa lebih nyaman untuk berbagi masalah dengan sesama teman daripada orang tua mereka sendiri. Dalam sebuah circle pertemanan Gen Z yang sehat, mereka akan saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Maka memilih circle pertemanan menjadi penting ketika hal itu dapat mempengaruhi mental healt kita.

Beberapa faktor berkontribusi pada kerentanan mental Generasi Z di dunia kerja. Penggunaan teknologi dan internet yang intens dapat menyebabkan kecemasan dan depresi, sementara ketergantungan pada media sosial sering kali mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang meningkat menciptakan tekanan tambahan, ditambah dengan krisis biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi global yang menambah stres finansial. Keinginan untuk sukses secara instan sering bertentangan dengan realitas dunia kerja, dan kesulitan dalam mengelola ekspektasi karir dapat menyebabkan frustrasi dan kecemasan. Selain itu, tuntutan untuk terus beradaptasi dengan teknologi dan keterampilan baru, serta ketidakpastian tentang masa depan pekerjaan di era otomatisasi dan AI, menambah beban mental pada generasi ini.

Masalah kesehatan mental dapat berdampak signifikan pada kinerja Generasi Z di tempat kerja. Ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan kreativitas, peningkatan absensi dan presenteeism (hadir secara fisik tetapi tidak produktif), serta kesulitan dalam berkolaborasi dan berkomunikasi efektif dengan rekan kerja. Dampak-dampak ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga organisasi dan ekonomi secara keseluruhan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan individu, perusahaan, dan masyarakat. Pada tingkat individu, penting bagi Generasi Z untuk mengembangkan keterampilan manajemen stres dan resiliensi, serta memprioritaskan keseimbangan kerja-kehidupan dan self-care. Organisasi dapat berperan dengan menciptakan budaya kerja yang mendukung kesehatan mental, menyediakan program dukungan kesehatan mental dan konseling, serta meningkatkan fleksibilitas kerja untuk mendukung keseimbangan hidup-kerja. Pada tingkat masyarakat, diperlukan upaya untuk mengurangi stigma seputar masalah kesehatan mental, meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau, dan mendorong kebijakan yang mendukung kesejahteraan pekerja muda.

Kerentanan mental Generasi Z di dunia kerja adalah masalah kompleks yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Dengan memahami tantangan unik yang dihadapi generasi ini dan mengimplementasikan strategi yang tepat, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif. Kesejahteraan mental Generasi Z bukan hanya masalah individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif yang akan menentukan masa depan dunia kerja dan masyarakat secara keseluruhan. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, kita dapat membantu Generasi Z mengatasi tantangan kesehatan mental mereka dan berkembang dalam dunia kerja yang terus berevolusi.

Gen Z identik dengan tipikal pribadi yang selalu ingin membahagiakan dirinya sendiri, ketika mereka stress dengan problem yang sedang dihadapi, healing sering dijadikan solusi oleh Gen Z untuk istirahat atau sekedar merefleksikan pikiran dari hiruk pikuk pekerjaan. Tidak sampai disitu saja, keluhan Tentang lingkungan kerja yang toxic, tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasi banyak terlontar dari mulut Gen Z. Menyesuaikan dan membiasakan diri dengan lingkungan baru memang membutuhkan waktu yang tidak singkat dan tantangan inilah yang seharusnya diperhatikan tidak hanya oleh Gen Z saja.

Gen Z yang terlahir di era serba digital, dengan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan yang didapatkan sejak kecil juga berpengaruh dalam proses perkembangan mental dan interaksi sosial mereka. Kata kenyamanan melekat dengan mereka, dimanapun Gen Z merasa nyaman maka mereka akan menetap di sana, begitu juga dengan tempat kerja.

“Gen Z butuh lingkungan yang nyaman, perusahaan harus menerima konsekuensi jika mempekerjakan Gen Z dengan karakteristik seperti itu,” ungkap Dewi yang memberikan tanggapannya tentang Gen Z yang keluar masuk dan berganti tempat kerja. Menurutnya perusahaan juga perlu mengikuti dan memahami perkembangan Gen Z, “Perusahaan bisa dengan melakukan pelatihan atau kegiatan khusus yang bertujuan agar mereka dapat beradaptasi dan merasa nyaman bekerja di perusahaan.”

Spread the love